Di masa perjuangan kemerdekaan, kota ini dikenang karena 'Tragedi Gerbang Maut'-nya. Namun, para peneliti sejarah lebih suka menyebutnya sebagai situs sejarah zaman megalitik terkaya.
Bondowoso, sebuah kabupaten yang disebut-sebut termiskin di Jawa Timur, ternyata masih menyimpan kekayaan tak ternilai. Para pemerhati sejarah maupun arkeologi sering menyebut 'harta karun' itu sebagai tradisi megalitik (batu besar, Red) atau lazim disebut juga sebagai budaya megalitikum. Sebuah kekayaan yang jauh melampaui kekayaan milik kabupaten- kabupaten lain di provinsi itu.
''Dari hasil penelitian terakhir para ahli, tahun 1998, memang layak kiranya disimpulkan bahwa tradisi megalitik Bondowoso adalah yang terkaya di Jawa Timur. Tapi saya belum yakin bila diukur se-Indonesia,'' kata Kayan Swastika, seorang pakar sejarah, kepada Republika belum lama ini.
Apa yang dikatakan Kayan memang tak mengada-ada. Selaku sejarawan yang selama ini bekerja di IKIP PGRI dan Universitas Jember, Kayan telah mengkaji ihwal tradisi ini selama bertahun-tahun. Dan hasil kajiannya selalu terbukti melalui penelitian beberapa ahli sejarah lainnya.
Salah satu bukti bahwa Bondowoso menyimpan tradisi megalitik terlengkap di Jawa Timur adalah fakta masih banyak ditemukannya batu-batu peninggalan zaman prasejarah di dalam wilayah ini. Malah benda-benda bersejarah itu tersebar di lima desa dan kecamatan, yakni di Desa Pakauman (Kecamatan Grujugan), Desa Mas Kuning Lor (Kecamatan Pujer), Desa Pakisan (Kecamatan Wonosari), dan Desa Glingseran (Kecamatan Wringin).
Dari hasil penelitian para arkeolog, ditemukan 15 buah Sarkopagus di Kecamatan Grujugan. Selain Sarkopagus, ditemukan pula Dolmen (15), Batu Kenong (65), dan sebuah patung nenek moyang. Di Pujer juga ditemukan peninggalan tradisi megalitik berupa 80 buah Dolmen, Batu Kenong (12), dan lima buah alat rumah tangga. Di Kecamatan Tlogosari ditemukan lima buha Yoni, Relief (1), Sarkopagus (10), Dolmen (4), Batu Kenong (15), dan sebuah alat rumah tangga. Sementara Kecamatan Wonosari hanya menyimpan 30 buah Dolmen, Kecamatan Wringin menyimpan 67 buha Sarkopagus, Menhir (1), Batu Kenong (15), alat rumah tangga (10), dan dua gua alam.
R Van Heine Geldern, seorang peneliti asal Belanda, dalam bukunya Das Megalitihen Problem (1959), menjelaskan bahwa ada dua era tradisi megelitik yang dikenal orang, yaitu tradisi megalitik tua dan tradisi megalitik muda. ''Tradisi yang tua berkembang pada masa neolitik atau masa cocok tanam, sedangkan yang muda berkembang pada masa perundagian,'' ujar Kayan.
Megalith (bangunan batu-batu besar, Red) yang dihasilkan pada masa tradisi megalitik tua, tutur Kayan, banyak berhubungan dengan aktivitas pemujaan roh-roh nenek moyang yang berlangsung di zaman itu. Penginggalannya berupa Menhir, Dolmen, Teras Berundak, Meja, dan Kursi Batu. Sedangkan penginggalan tradisi megalitik muda lebih didominasi oleh tempat-tempat penguburan. Megalith yang dihasilkan di era ini biasanya berupa Arca Primitif, Sarkofagus, Karanda, Kubur Peti Batu, dan Pandhusa (Dolmen sebagai penguburan).
''Namun, dalam perkembangannya kedua jenis tradisi megalitik tersebut bercampur baur, saling tumpang tindih, hingga membentuk variasi-variasi lokal,'' tandas Kayan.
Ini pula sebabnya para arkeolog Indonesia relatif sulit menemukan batas tegas antara tradisi megalitik tua dan muda. Sebab, dalam beberapa kasus monumen-monumen yang dimaksud dalam megalitik tua masih dipergunakan hingga masuk periode yang dianggap sudah muda.
Meski begitu, para peneliti sejarah sepakat bahwa Kabupaten Bondowoso diperkirakan tergolong dalam era tradisi megalitik muda, yang berlangsung sangat lama hingga sekitar abad XIV masehi. HR Van Hakeren, dalam bukunya The Stone Age of Indonesia (1972), bahkan menentukan bahwa Dolmen Bondowoso berlangsung antara awal tarikh masehi sekitar 2500-2000 Sebelum Masehi.
Gambaran tentang waktu ini terlihat dari Dolmen di Desa Pakauman, Kecamatan Grujugan, yang berlokasi sekitar 5 km di sebelah selatan kota Bondowoso. Dari asal katanya, Breton (di Inggris Utara), ''Dol'' berarti ''meja'' dan ''Men'' adalah ''batu''. Orang Bondowoso yang mayoritas berbahasa Madura menyebutnya Betoh Meja (batu meja).
Dolmen ini, jelas Kayan, merupakan peninggalan lokal. Ia bukan lagi merupakan sarana pemujaan, tapi berfungsi sebagai penguburan (funeral place). Jenazah ditempatkan di bawah, di antara kaki-kaki Dolmen. Di dalamnya terdapat berbagai bekal kubur (funeral give). Yang ditemukan beberapa tahun terakhir, berupa gerabah, benda logam dari perunggu, dan manik-manik dari tanah liat yang dibakar.
Disertakan dalam kubur, karena benda-benda itu dianggap sebagai kesayangan Si Mati. Hal ini menunjukkan adanya tingkat pemikiran yang mengacu kepada cara-cara perlakuan masyarakat di zaman itu terhadap leluhur. Pada perkembangan awalnya, Dolmen biasa digunakan untuk upacara-upacara yang berkaitan dengan pemujaan arwah leluhur.
''Meja batu ini biasanya untuk meletakkan tujuan agar roh leluhur turun ke bumi dan memberi restu dan perlindungan bagi masyarakat,'' jelas dia.
Sarkofagus -- atau dikenal dengan istilah Kubur Batu -- juga banyak ditemukan di Kota Tape ini. Warga setempat menyebutnya dengan pandhusa (usungan mayat, Madura). Bahan baku pembuatan Sarkofagus, adalah batuan konglomerat yang terdiri wadah dan tutup.
Menurut hasil penelitian para ahli, bahan baku yang digunakan untuk membuat benda bersejarah ini adalah batu-batu di sekitar lokasi situs. Batu-batu besar itu dipahat seperti pembuatan kubur-kubur batu di Tanah Toraja. Waktu pembuatan Sarkofagus diperkirakan setahun hingga dua tahun per unit. Tentunya dengan memakan biaya. ''Bisa dipastikan juga bahwa pembuatnya adalah orang khusus yang disegani sebagai pemimpin waktu itu,'' kata Kayan.
Sarkofagus berupa batu monolit berbentuk memanjang yang dicekungkan bagian tengahnya. Sekilas ia tampak seperti lesung. Di atasnya terdapat tutup batu tersendiri dengan bentuk yang sama, sehingga cekungnya di dalam. Umumnya di atas tutup tersebut terdapat pula hiasan ukir-ukiran yang menggambarkan nenek moyang. Biasanya hiasan itu menyerupai kadal atau gambar raut muka manusia dengan mata melotot.
Dari lima tempat ditemukannya situs purbakala di Bondowoso, hanya satu yang paling unik. Yakni berupa patung nenek moyang di Desa Pakauman Kecamatan Grujugan. Warga setempat menyebutnya betoh nyae (batu nyai, Madura). HR Van Hakkeren mengklasifikasikan batu ini sebagai patung tipe steattopigic atau patung Menhir. Patung jenis ini juga disebutnya sbagai patung nenek moyang tipe Polinesia.
Betoh nyae memiliki tinggi 153 cm dan tebal 52 cm. Lingkar dadanya berukuran 60 cm, sedang lingkar kepalanya 46 cm. Ia berada di tengah kebun tembakau milik rakyat. Untuk menjangkau dan menyaksikan benda bersejarah ini secara lebih leluasa, kita harus menunggu tibanya saat penanaman bibit. Masalahnya, saat itu semua batu belum tertutup tanaman milik rakyat, sehingga tampak jelas.
Ini pun bila kita beruntung mendapati sikap ramah para petani. Sebab pemilik kebun kerap kali marah pada siapa pun yang mendekati patung itu, kecuali bila kita bersedia memberi ganti rugi atas tanaman mereka yang rusak karena injakan kaki. Hilangnya satu tangan betoh nyae belum lama ini diperkirakan sengaja dirusak oleh petani setempat, lantaran kekesalan terhadap kehadiran para peneliti di lokasi, sekitar tiga bulan lalu.
Batu peninggalan prasejarah ini, tidak hanya ada di kebun rakyat, bahkan di dalam pabrik yang aktif produksi. Pelinggihan (singgasana, Madura) atau lazim disebut Tahta Batu, yang juga satu-satunya ditemukan di Bondowoso, tersimpan utuh dalam sebuah pabrik yang letaknya membelakangi betoh nyae.
Batu itu terdiri dari alas dan sandaran yang datar. Menurut para ahli, Kursi Batu ini dibuat untuk tokoh-tokoh penting (kepala suku atau rohaniawan). Ia juga berfungsi sebagai tempat upacara dalam hubungannya dengan pemujaan arwah nenek moyang.
''Kadang-kadang hal-hal mistik masih mewarnai keberadaan batu di dalam pabrik itu,'' ungkap Kayan.
Budaya Megalitikum Bondowoso kian lengkap dengan adanya puluhan Batu Kenong di sekitar betoh nyae, Sarkofagus, dan Dolmen. Batu ini berbentuk seperti gendang, yang pada satu sisinya memiliki tonjolan mirip kenong (peralatan gamelan Jawa). Di Desa Pakauman Kecamatan Grujugan, jumlahnya paling banyak di antara kecamatan lain, seperti Tlogosari. Bahkan, mereka berserakan di tengah tegalan (sawah kering).
Di Desa Kamal, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember, sekitar 10 km sebelah selatan Kecamatan Grujugan, Bondowoso, jumlah Watu Kenong mencapai ratusan. Mereka berserakan di halaman rumah penduduk, sawah-sawah, sungai, dan di tepi-tepi jalan kecil. Di daerah ini, Watu Kenong banyak sekali yang hilang. Bahkan, polisi setempat beberapa kali berhasil 'mengamankan' barang bukti berikut menangkap tersangka pencurinya.
Berdasarkan hasil studi perbandingan soal struktur bangunan tradisi megalitik di berbagai wilayah di Indonesia oleh para ahli, peninggalan jenis ini diperkirakan berfungsi sebagai sarana upacara pemujaan untuk memohon sesuatu kepada zat yang lebih tinggi.
Khusus di Pakauman, Bondowoso, ujar Kayan, menunjukkan fungsi sebagai umpak (fondasi penyangga) bangunan. Tonjolan-tonjolan di atas batu berfungsi sebagai penahan balok-balok kayu yang berfungsi sebagai gelagar (tiang penyangga utama, Jawa). Maksudnya, agar balok-balok kayu bangunan tidak lepas dari umpak.
Secara geografis, benda-benda peninggalan tradisi megalitik ini terletak 192 km di tenggara kota Surabaya. Dikelilingi oleh Gunung Argopuro, Krincing, Keong, Saeng, dan Gunung Gugur. Tepatnya di sisi barat Gunung Raung, Lampe, Suket, Kalisat Jampit, Malung, dan Lebang atau di kawasan Pegunungan Ijen.
Sayang, lantaran lokasi-lokasi benda purbakala ini mudah dijangkau publik -- sangat dekat dengan pemukiman penduduk -- justru berpengaruh buruk terhadap kondisinya. Sebagai akibatnya, perawatan benda-benda bersejarah itu pun tak bisa dilakukan secara optimal. Beberapa fragmen sebagian benda-benda itu tampak terlepas dari kesatuannya, tapi tidak terlalu jauh berserakan. Beberapa batu penyangga Dolmen juga tampak amblas, dan sebagian Sarkofagus pecah. Bahkan, pecahannya tercecer di sekitar rumah penduduk. Padahal dari batu-batu purbakala itulah kita bisa mengenang tradisi Megalitik yang pernah ada. mamang pratidina
Sumber : Koran Republika
Mengenang Sisa-Sisa Kejayaan Tradisi Megalitik di Bondowoso
Sunday, July 22, 2007 |
Posted by
Kota Bondowoso
Labels: Sejarah / History
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
- android (1)
- Berita / News (35)
- Hiburan (8)
- Kuliner (1)
- Profil (2)
- Sejarah / History (5)
- Wisata (15)
0 comments:
Post a Comment